BAB
I PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Berbicara mengenai Suku Toraja tentu dalam benak kita
terbayang sebuah etnik suku yang memiliki rumah panggung besar dengan atap
menyerupai moncong perahu dan upacara adatnya yang melibatkan banyak orang
untuk terlibat dan reputasinya pada hari ini telah mengarungi banyak negara.
Daya tarik yang berasal dari khasanah kebudayaannya, arsitektur tradisional
yang inspiratif serta kaya makna, dan keagungan prosesi adatnya menjadikan Tana
Toraja memiliki nilai-nilai tersendiri yang pada hari ini banyak diminati oleh
wisatawan untuk mengunjungi daerah tersebut. Hal ini diperkuat dengan kearifan
lokal yang nilai-nilainya masih dijalankan oleh masyarakat sekitar Tana Toraja.
Suku Tana Toraja yang pada hari ini masih mendiami daerah pegunungan masih
mempertahankan gaya hidup Austronesia yang asli dan cenderung memiliki
kemiripan dengan budaya yang ada di Nias.
Melihat Suku Toraja sejenak Secara geografis, Komunitas
Suku Toraja bertempat tinggal pada pegunungan di bagian utara sulawesi selatan.
Lebih spesifik pada letaknya, Suku Toraja terletak di kabupaten Tana Toraja
yang terletak dalam satuan kepemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan yang mana
memiliki ibukota bernama Makale. Pada tahun 2007 kabupaten ini memiliki jumlah
populasi sebanyak 248.607 jiwa. batas-batas geografis Kabupaten Tana Toraja di
utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju, dan sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Luwu, lalu pada sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Enkerang,
sementara pada sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Mamasa.
Berada pada zona waktu indonesia tengah, Secara
klimatologi Kabupaten Tana Toraja termasuk kedalam daerah yang beriklim Tropis
Basah. Hal ini secara kasar bisa kita ketahui melihat letak keberadaan tempat
yang berada di daerah pegunungan. Dalam segi temperatur udara, suhu di Tana
Toraja berkisar antara 150 c – 280 c dengan kelembaban
udara yang berkisar antara 82 – 86 %. Curah hujan rata-rata di Tana Toraja
berada pada kisaran 1500 mm/thn sampai lebih dari 3500 mm/thn.
Jika pembaca sekiranya ingin mengunjungi Tana Toraja
ada baiknya melihat masa-masa pembagian musim hujan dan musim kemarau yang
umumnya ada di Kabupaten Tana Toraja. Untuk musim kemarau periode bulan april
sampai dengan september merupakan rentang waktu datangnya kemarau tiba di Tana
Toraja. Sedangkan musim penghujan biasanya tiba pada periode bulan Oktober
sanpai dengan Maret. Menurut Oldement, tipe iklim di Kabupaten Tana Toraja
adalah tipe C2 yaitu bulan basah (200 mm) selama 2 – 3 bulan berturut-turut dan
bulan kering (100 mm) selama 2-3 bulan berturut-turut. Kondisi riil ini
dianggap sangat mendukung sektor agraria daerah kabupaten Toraja.
Pada hari ini diperkirakan populasi masyarakat suku
toraja telah mencapai sekitar satu juta jiwa. Sekitar 50% dari total jumlah
masyarakat Suku Toraja masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja dan kabupaten
tetangga seperti Kabupaten Toraja Utara dan Kabupaten Mamasa sisanya banyak
masyarakat yang berasal dari Suku Toraja yang kini telah menetap di kota-kota
lainnya di Sulawesi dan tidak sedikit juga yang merantau keluar Sulawesi.
Kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Toraja adalah Kristen.
Sementara sebagian ada yang menganut agama Islam dan kepercayaan animisme yang
dikenal dengan Aluk To Dolo.
Berbicara mengenai kepercayaan animisme yang dimiliki
Suku Toraja. Aluk To Dolo memiliki makna sebagai kesadaran bahwasannya
keberadaan manusia hidup di bumi pada hakikatnya hanyalah untuk sementara.
Prinsip ini ditanamkan sedemikian kuatnya yang mana pada akhirnya menjadi
pondasi utama kepercayaan asli masyarakat Toraja. Sebagai penguat pemahamannya
bahwasannya selama tidak ada orang yang bisa menahan matahari terbenam di ufuk
barat, kematian pun mutlak keberadaannya dan tidak bisa ditunda kedatangannya.
Secara historis banyak yang meyakini bahwa Suku Toraja
berasal dari Teluk Tongkin yang berada di daratan cina. Seorang Anthtropolog
bernama DR.C. Cyrut meyakini bahwa masyarakat Toraja merupakan hasil dari
proses akulturasi antara penduduk lokal Sulawesi Selatan atau pribumi dengan
pendatang dari teluk tongkin tersebut. Berawalnya akulturasi antara masyarakat
pribumi dengan pendatang ini dari berlabuhnya imigran indo cina dengan jumlah
yang dapat dikatakan cukup banyak di sekitar hulu sungai yang pada hari ini
diperkirakan letak lokasinya berada di daerah Kabupaten Enrekang. Bangsa cina
yang memang dikenal akan kebiasaannya bermigrasi segera membangun pemukiman di
daerah tersebut untuk kemudian membangun sebuah peradaban baru.
Nama Toraja sendiri sebenarnya merupakan kata dari
Bahasa Bugis yaitu to riaja yang mana berarti “orang yang berdiam di negeri
atas”. Identitas mereka yang pada hari ini kita ketahui bernama Toraja
merupakan pemberian dari perintah kolonial belanda yang memberikan nama itu
pada tahun 1909. Versi lain menyebutkan bahwasannya kata Toraja awal mulanya
bernama toraya. Kata tersebut merupakan gabungan dari dua kata yaitu “to” yang
berarti orang dan “raya” yang berasal dari kata maraya yang berarti besar.
Artinya jika digabungkan menjadi suatu padanan makna orang-orang besar atau
bangsawan. Seiring dengan berputarnya roda kehidupan lama-lama penyebutan nama
Toraya berubah menjadi Toraja. Sementara itu kata Tana yang berada di depan
kata Toraja memiliki arti sebuah negeri. Sehingga pada hari ini tempat pemukiman
Suku Toraja dinamai Tana Toraja atau negeri tempat orang-orang besar berada.
Sebelum masuknya pengaruh kolonial Belanda dan
kristenisasi, di Tana Toraja memiliki sebuah pakem yang cukup jelas mengenai
identitas diri mereka sebagai sebuah kelompok. Suku Toraja yang tinggal di
daerah dataran tinggi memiliki sebuah identitas pengenalan diri yang
diklasifikasikan bedasarkan asal desa mereka dan satu sama lain tidak merasa
sama jika mereka bukan berasal dari kelompok desa yang sama. Meskipun
ritual-ritual yang diadakan di tiap desa identik dan menciptakan hubungan di
antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam segi dialek, hierarki sosial, dan
macam-macam praktik ritual di daerah tersebut.
Pemberian nama Toraja banyak diduga mulanya merupakan
pemberian oleh suku bugis Sindengreng dan Luwu. Orang dari Suku Sindengreng
menamakan penduduk daerah yang bermukim di daerah dataran tinggi dengan sebutan
to riaja yang berarti “orang yang berdiam di pegunungan” sementara orang-orang
yang berasal dari suku bugis luwu menyebutnya dengan to riajang yang memiliki
arti “orang yang berdiam di sebelah barat”.
Suku bangsa cina yang datang dari teluk tonkin ini
sebenarnya terletak antara vietnam utara dan cina selatan. Pada awal
kedatangannya mereka menempati wilayah di pesisir Sulawesi hingga akhirnya
karena merasa membutuhkan situasi iklim yang sedikit banyak mirip dengan daerah
asalnya, maka para pendatang ini memilih untuk bermukim di daerah dataran
tinggi. Proses adaptasi yang cukup ekstrim diterima para pendatang memang membuat
mereka secara rasional memilih untuk pindah dari pesisir menuju dataran tinggi
itu.
Secara historis pemerintah kolonial belanda masuk dan
menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi pada abad ke-17.
Melalui perusahaan dagangnya yang bernama vereenigde Oost-Indische Compagnie
atau yang familiar di telinga kita bernama VOC selama dua abad mereka berkuasa
di sulawesi dan memonopoli segala bentuk perdagangan dan kekuasaan politik.
Namun hal ini justru relatif tidak terlalu berpengaruh banyak dalam beberapa
hal bagi keberlangsungan eksistensi masyarakat Suku Toraja. Pemerintah
kollonial belanda mengacuhkan daerah Tana Toraja karena dinilai sulit untuk
dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan produktif. Letaknya yang berada pada
dataran tinggi memang menjadi salah satu alasan utama mengapa belanda tidak
begitu mengeksploitasi sumber daya di daerah Tana Toraja.
Pada akhir abad ke-19 pemerintah kolonial belanda yang
mulai khawatir akan pesatnya perkembangan ajaran agama islam di Sulawesi
Selatan terutama pada komunitas Suku Bugis. Belanda yang melihat bahwa
keberadaan Suku Toraja yang relatif terisolir dari pengaruh luar akhirnya
memutuskan untuk memusatkan proses kristenisasi di daerah Tana Toraja. Hal ini
juga diperkuat karena masyarakat Tana Toraja masih menganut ajaran animisme
mereka. Misionaris Belanda yang pada masa itu berusaha untuk menyebarkan
ajarannya ternyata mendapat perlawanan kuat dari para masyarakat Suku Toraja.
Hal ini dikarenakan penghapusan jalur perdagangan yang pada hakikatnya menguntungkan
masyarakat Toraja. Beberapa orang asli Suku Toraja dipindah paksa ke dataran
rendah oleh pemerintah kolonial Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak pada
masa itu juga ditetapkan pada tingkatan yang amat tinggi dengan tujuan untuk
mengikis kekayaan para elit masyarakat Suku Toraja. Pun begitu usaha-usaha
belanda tersebut nyatanya tidak dapat merusak kebudayaan Toraja dan pada waktu
itu hanya sedikit sekali terdapat populasi orang toraja yang menganut ajaran
kristen.
Pada tahun 1930-an. Konflik pun tidak luput menyelimuti
tana toraja yang mana kali ini melibatkan penduduk muslim yang bertempat
tinggal di daerah dataran rendah dengan para penduduk toraja. Akibat dari
insiden ini banyak orang toraja yang memilih untuk beraliansi dengan pemerintah
kolonial belanda guna meraih kemenangan atas penduduk muslim yang notabenenya
juga merupakan terhitung sebagai musuh belanda pada masa itu. akibat aliansi
ini banyak penduduk toraja yang akhirnya memilih untuk mengganti kepercayaan
mereka menjadi kristen dalam rangka meraih aliansi dengan belanda serta
mendapat perlindungan politik supaya bisa melakukan perlawanan balik terhadap
orang-orang bugis dari Makassar yang bergama Islam.
Pada periode antara tahun 1951 sampai 1965 setelah
kemerdekaan indonesia Sulawesi Selatan mengalami kekacauan yang dipicu oleh
pemberontakan Daarul Islam yang bertujuan untuk mendirikan negara islam di
tanah Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut
memiliki andil yang cukup besar mengapa perkembangan agama kristen di toraja
semakin menunjukan peningkatan yang cukup signifikan.
Dekrit President yang diterbitkan pada tahun 1965 yang
mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima
agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha.
Kepercayaan asli Toraja (aluk to dolo) tidak diakui secara hukum, dan suku
Toraja berupaya menentang dekrit tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan
hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun
1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma
B. TUJUAN
Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah budaya – budaya
daerah juga untuk mengetahui lebih mendalam budaya – budaya di Tana Toraja yang
sangat kental dengan adat kususnya adat tentang kematian dan umunya kebudayaan
kebudayaan yang ada di Tana Toraja.
C. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa budaya orsinil adat nenek moyang di
Tana Toraja
2. Apa budaya inkulturasi adat nenek moyang
di Tana Toraja
3. Serta budaya – budaya unik di Tana Toraja
BAB
II KEBUDAYAAN
A. BUDAYA
ORISINIL
Aluk Todolo
Aluk Todolo adalah agama leluhur nenek
moyang suku Toraja yang hingga saat ini masih dipraktekkan oleh sejumlah besar
masyarakat Toraja. Aluk Todolo sudah
dilindungi oleh negara dan resmi diterima ke dalam sekte Hindu-Dharma. Aluk Todolo merupakan kepercayaan animisme tua, dalam
perkembangannya Aluk Todolo banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran
hidup Konfusius dan agama Hindu. Oleh karena itu, Aluk
Todolo merupakan suatu kepercayaan yang bersifat politeisme yang dinamistik.
Kepercayaan Aluk todolo ini
bersumber dari dua ajaran utama yaitu aluk 7777 (aluk sanda pitunna) dan aluk
serba seratus (sanda saratu').
1. Aluk Sanda Pitunna (aluk 7777) disebarkan oleh
Tangdilino' dan merupakan sistem religi yang diyakini oleh orang Toraja sebagai
aluk yang diturunkan dari langit bersama-sama dengan umat manusia. Oleh karena
itu, Aluk Sanda Pitunna adalah aluk tertua dan menyebar secara luas di Toraja,
Aluk Sanda Pitunna bersumber dari ajaran agama (sukaran aluk) yang
meliputi upacara (aluk), larangan (pemali), kebenaran umum (sangka') dan
kejadian sesuai dengan alurnya (salunna). Aluk sendiri meliputi upacara yang
terdiri atas tiga pucuk dan empat tumbuni (aluk tallu lolona, a'pa'
pentaunina). Disebut tiga aIuk karena ia meliputi upacara yang menyangkut
manusia (aluk tau), upacara yang menyangkut tanam-tanaman (aluk tananan) dan
upacara yang menyangkut binatang (aluk patuan) dan dikatakan empat oleh karena
di samping ketiga hal di atas ada lagi satu upacara yang disebut upacara suru'
berfungsi untuk menembus kesalahan (pengkalossoran).
2. Aluk Sanda Saratu' datang kemudian dan disebarkan oleh
Puang Tamborolangi', namun Aluk Sanda Saratu' hanya berkembang didaerah Tallu
Lembangna (Makale, Sangalla dan Mengkendek).
B. BUDAYA
INKULTURASI
inkulturasi meru-pakan salah satu ajaran Gereja,
khususnya sesudah Konsili Vatikan II. Nilai-nilai Injili haruslah
diinkulturasikan dalam budaya setempat, sehingga terbentuk budaya baru yang
bersifat kristiani.
1.
Inkultirasi Tiga
Hal
pada
hakikatnya inkulturasi menyangkut tiga hal. Pertama, inkulturasi iman. Dasarnya
adalah penjelmaan Sang Sabda menjadi daging dalam kebudayaan manusia inkarnasi.
Sabda yang menjadi daging lahir dan wafat sebagai manusia, dan bangkit dalam
kemuliaan serta naik ke surga.
2.
inkulturasi
liturgi.
Iman
akan Yesus Kristus sebagai pokok pewartaan Injil harus diungkapkan, dihayati,
dan dirayakan dalam liturgi. Liturgi akan hidup jika diungkapkan dalam budaya
orang yang merayakannya. Budaya yang hidup dalam masyarakat Toraja harus
diresapi, disucikan oleh Injil melalui proses dan tahap-tahap inkulturasi yang
cermat sehingga melahirkan budaya baru, budaya Toraja yang berjiwa kristiani
3.
inkulturasi
sakramentali
Orang
Toraja sama dengan Gereja Katolik; sarat dengan simbol-simbol yang kadang tidak
diketahui namanya, apalagi sifat dan yang disimbolkannya. Maka, perlu katekese
terus-menerus baik pemakaiannya dalam budaya Toraja maupun dalam Gereja. Agar
tidak jatuh dalam sinkretisme, makna simbol harus dipahami dengan baik, Pemakaian
simbol dalam prosesi jalan salib dan perayaan Jumat Agung di Makale memunculkan
pro kontra yang lari pada perdebatan upacara ma’pasonglo’
C. BUDAYA
UNIK
Londa Tana
Toraja
Dalam
masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan
berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara
pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk todolo, hanya keluarga
bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman
seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama
beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput
yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat
lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh
keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan
dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi
semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang
kelas rendah.
Di
Tana Toraja ada tiga cara pemakaman: peti mati dapat disimpan di dalam gua,
atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang
dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu
pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan
untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga.Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di depan gua dan menghadap ke depan. Peti mati bayi
atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya
bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh, Di
daerah Londa Lemo ini terdapat bukit batu yang dijadikan kuburan desa. Banyak
peti yang diletakkan dalam gua, di dalam lobang tebing dan digantung di
sisitebing.
Dengan
demikian animo para wisatawan yang mengunjungi tempat wisata yang dikenal
dengan nama Londa ini sangatlah populer sehingga para wisatawan banyak yang
datang untuk mengunjungi tempat ini dari berbagai penjuru dunia, selain itu
para wisatawan yang datang ingin melihat tempat tersebut karena keunikanya
tersendiri, yakni dimana sebuah gua yang di jadikan kuburan desa, dimana kita
juga dapat melihat sebuah batu yang di ukir, patung yang menyerupai manusia,
tulang – belulang manusia, dan yang paling unik yang mengandung makna cinta
yakni sepasang kekasih yang tidak di restui dan mereka bunuh diri, di tempat
itu tulang mereka di persatukan, serta masih banyak lagi keunikn di daamnya.
Selain
keunikan yang terdapat di dalamnya juga penghargaan masyarakat di tempat itu
sangat tinggi, mereka melestarikan tempat itu dan menjaga kelestarianya. Tak
hanya dari itu pengujung wisatawan juga dapat membeli barang – barang yang
merupakan kesenian toraja yang seperti parang, badik, kalung, semua khas toraja
yang di jual di sekitar tempat yang tidak jauh dari gua tersebut.
Dokumentasi Foto
BAB III SIMPULAN DAN
SARAN
Simpulan
Simpulan kami yakni nama Toraja
merupakan kata dari Bahasa Bugis yaitu to riaja yang mana berarti “orang yang
berdiam di negeri atas”. Identitas mereka yang pada hari ini kita ketahui
bernama Toraja merupakan pemberian dari perintah kolonial belanda yang
memberikan nama itu pada tahun 1909. Sedangkan gama leluhur masyarakat toraja
adalah Aluk To Dolo, yang memiliki makna sebagai kesadaran bahwasannya
keberadaan manusia hidup di bumi pada hakikatnya hanyalah untuk sementara.
Saran
Saran
kami terhadap analisis penelitian terhap peneitian budaya – budaya yang ada di
Tana Toraja yakni bagaimana cara mempertahankan dan menjaga kelestarian budaya
– budaya leluhur yang ada di toraja serta sling menghargai antara penganut
masing – masing agama serta tidak saling mencela satu sama lain terhadap
keyakinan maupun kepercayaan yang dianaut agar tercipta masyarakat aman, damai,
dan sejahtera.
BAB IV PENUTUP
Penutup dari
laporan yang kami buat yakni kita mengucapkan terima kasih banyak kepada bapak dosen mata kuliah budaya – budaya
daerah,karena dimana kami merasa sangat
bangga karena kepergian kami dalam penelitian budaya – budaya daerah di Tana
Toraja selalu di dampingi oleh dosen mata kuliah ini sendiri.
Perjalanan kami
dalam menjelajah budaya daerah selain kita turun kelapangan untuk melakukan
observasi, juga kita anggap sebagai suatu rekreasi, refresing, dan menikmati
perjalanan serta objek – objek wisata yang ada di sana, sehingga kemudian kami
kembali ke Makassar dan melaksanakan kegiatan kuliah seperti biasanya, dan yang
tertinggal di benak kami adalah sesuatu yang indah di toraja.
No comments:
Post a Comment