Laman

Saturday, November 2, 2013

BUDAYA ACCERA KALOMPOANG KERAJAAN GOWA

Accera Kalompoang

A. Selayang PandangAccera Kalompoang

Accera Kalompoang merupakan upacara adat untuk membersihkan benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di Museum Balla Lompoa. Inti dari upacara ini adalah allangiri kalompoang, yaitu pembersihan dan  penimbangan salokoa (mahkota) yang dibuat pada abad ke-14. Mahkota ini  pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I Tumanurunga, yang kemudian disimbolkan  dalam pelantikan Raja- Raja Gowa berikutnya.
Adapun benda-benda kerajaan yang dibersihkan di  antaranya: tombak rotan berambut ekor kuda (panyanggaya barangan), parang  besi tua (lasippo), keris emas yang memakai permata (tatarapang), senjata  sakti sebagai atribut raja yang berkuasa (sudanga), gelang emas berkepala naga (ponto janga-jangaya), kalung kebesaran (kolara), anting-anting emas murni (bangkarak ta‘roe), dan kancing emas (kancing gaukang).  Selain benda-benda pusaka tersebut, juga ada beberapa benda impor yang tersimpan  di Museum Balla Lompoa turut dibersihkan, seperti: kalung dari Kerajaan Zulu,  Filipina, pada abad XVI; tiga tombak emas; parang panjang (berang manurung);  penning emas murni pemberian Kerajaan Inggris pada tahun 1814 M.; dan medali  emas pemberian Belanda.
Pencucian benda-benda kerajaan tersebut menggunakan air suci yang diawali dengan pembacaan surat Al-Fatihah secara bersama-sama oleh para peserta upacara yang dipimpin  oleh seorang Anrong Gurua (Guru Besar). Khusus untuk senjata-senjata pusaka seperti keris, parang dan mata tombak, pencuciannya diperlakukan secara khusus,  yakni digosok dengan minyak wangi, rautan bambu, dan jeruk nipis. Pelaksanaan  upacara ini tidak hanya disaksikan oleh para keturunan Raja-Raja Gowa, tetapi  juga oleh masyarakat umum dengan syarat harus berpakaian adat Makassar pada saat acara.
Upacara adat yang sakral ini pertama kali dilaksanakan  oleh Raja Gowa yang pertama kali memeluk Islam, yakni I Mangngarrangi Daeng  Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin pada tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H.  atau 20 September 1605. Meskipun Raja Gowa XIV itu telah memulainya, namun  upacara ini belum dijadikan sebagai tradisi. Raja Gowa XV, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga Ri  Papambatuna, mentradisikan upacara ini pada setiap tanggal 10 Zulhijjah, yakni  setiap selesai shalat Idul Adha. Selanjutnya, Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng  Mattawang Karaeng Bontomanggape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangkana yang  bergelar Ayam Jantan dari timur, memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam upacara ini, yakni penyembelihan hewan kurban.
Sejak itu, Raja-raja Gowa berikutnya terus  melaksanakan upacara Accera Kalompoang ini dan sampai sekarang terus dilaksanakan  oleh para keturunan mereka. Oleh karena pelaksanaan upacara ini memerlukan  biaya yang cukup besar, yakni mencapai puluhan juta rupiah, maka setiap  keluarga yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Salokoa membiayai upacara ini  secara bergiliran.

B. Keistimewaan

Yang menarik dari pelakasanaan upacara Accera  Kalompoang adalah pada saat penimbangan salokoa atau mahkota emas  murni seberat 1.768 gram dengan diameter 30 cm dan berhias 250 butir berlian. Penimbangan  mahkota tersebut sangat penting bagi petinggi dan masyarakat Gowa, karena penimbangan  itu merupakan petunjuk bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang. Mahkota tersebut  tidak pernah diperbaiki dengan menambah atau mengurangi timbangannya, namun  uniknya, pada saat penimbangan dilakukan dalam upacara Accera Kalompoan ini, timbangan mahkota tersebut sering berubah-ubah, terkadang berkurang dan  terkadang pula lebih. Jika timbangan mahkota tersebut berkurang, maka itu menjadi  pertanda akan terjadi bencana di negeri mereka. Pernah suatu ketika, timbangan  mahkota tersebut berkurang dan terbukti terjadi tanah longsor di Bawakaraeng  yang menelan puluhan korban. Sebaliknya, jika timbangan mahkota tersebut  bertambah, maka itu menjadi pertanda kemakmuran akan datang bagi masyarakat  Gowa. Suatu ketika, mahkota yang beratnya kurang dari 2 kilogram ini tidak  dapat diangkat oleh siapa pun, bahkan 4 orang sekaligus berusaha mengangkatnya,  namun tetap saja tidak sanggup.
Secara logika, kejadian yang aneh itu sangat  sulit untuk dipercaya. Namun, karena telah terbukti, para keturunan Raja-raja Gowa serta masyarakat umum sudah meyakininya. Oleh karena itu, mereka  senantiasa mendukung dan memelihara tradisi upacara Accera Kalompoang yang mereka anggap sakral ini.

C. Lokasi

Upacara adat Accera Kalompoang digelar  sekali setahun, yakni setiap usai shalat Idul Adha pada tanggal 10 Zulhijjah di  Museum Balla Lompoa di Jl. Sultan Hasanuddin No. 48 Sungguminasa, Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

D. Akses

Dari Pusat Kota Makassar, Karebosi, ke tempat pelaksanaan  upacara Accera Kalompoang di Museum Balla Lompoa dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan pribadi atau pun angkutan umum berupa mobil pete-pete (mikrolet) selama 20 menit dengan tarif sekitar Rp. 2.000,-/orang.

E. Biaya Tiket Masuk

Pengunjung yang hendak menyaksikan prosesi  pelaksanaan upacara Accera Kalompoang ini tidak dipungut biaya, namun dengan syarat harus mengenakan pakaian adat Makassar. Jika ada pengunjung yang tidak mengenakannya, maka petugas adat yang ada di  lokasi akan meminjamkan pakaian adat berupa sarung khas orang Makassar  yang disebut lipak sabbe (sarung sutra).

F. Akomodasi dan Fasilitas

Masih dalam proses pengumpulan data.
(Sumber Wisata Melayu)

SUMB: http://portalbugis.wordpress.com/travel/budaya/accera-kalompoang/

No comments:

Post a Comment