HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN KESETARAAN
GENDER
BAGIAN I
PENDAHULUAN
A. LATARBELAKANG
Pendidikan merupakan Hak Asasi Manusia. Pendidikan yang tidak diskriminatif akan menguntungkan, baik bagi perempuan maupun laki-laki, yang pada akhirnya akan mempermudah terjadinya kesetaraan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Gender sebagaimana didefinisikan secara umum adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat . Tataran bias gender banyak terjadi dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Misalnya peran gender terjadi dalam hal mengakses lembaga pendidikan yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi perempuan.
Pendidikan merupakan Hak Asasi Manusia. Pendidikan yang tidak diskriminatif akan menguntungkan, baik bagi perempuan maupun laki-laki, yang pada akhirnya akan mempermudah terjadinya kesetaraan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Gender sebagaimana didefinisikan secara umum adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat . Tataran bias gender banyak terjadi dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Misalnya peran gender terjadi dalam hal mengakses lembaga pendidikan yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi perempuan.
Allah
mewajibkan hambanya untuk memperoleh pendidikan yang tinggi, tidak ada
pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan. Keduanya
mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal
dalam hal ini adalah bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual
maupun karier profesional, tidak mesti didominasi oleh satu jenis kelamin saja.
Peluang untuk meraih prestasi maksimum dalam pendidikan terbuka lebar untuk dua
insan tersebut. Yang membedakan hanyalah ketakwaannya dihadapan Allah sang
Pencipta . Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Hujurat (49:13) sebagai berikut
yang artinya;
“Hai
manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
ApaItuGender?
BANYAK laki-laki mengatakan, sungguh tidak mudah menjadi laki-laki karena masyarakat memiliki ekspektasi yang berlebihan terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat, tidak cengeng, dan perkasa. Ketika seorang anak laki-laki diejek, dipukul, dan dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu. Sebaliknya, ia ingin tampak percaya diri, gagah, dan tidak memperlihatkan kekhawatiran dan ketidak berdayaannya. Ini menjadi beban yang sangat berat bagi anak laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya. Kenyataannya juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah mudah. Stereotip perempuan yang pasif, emosional, dan tidak mandiri telah menjadi citra baku yang sulit diubah. Karenanya, jika seorang perempuan mengekspresikan keinginan atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak rasional dan agresif. Hal ini menjadi beban tersendiri pula bagi perempuan.
Keadaan di atas menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja.
BANYAK laki-laki mengatakan, sungguh tidak mudah menjadi laki-laki karena masyarakat memiliki ekspektasi yang berlebihan terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat, tidak cengeng, dan perkasa. Ketika seorang anak laki-laki diejek, dipukul, dan dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu. Sebaliknya, ia ingin tampak percaya diri, gagah, dan tidak memperlihatkan kekhawatiran dan ketidak berdayaannya. Ini menjadi beban yang sangat berat bagi anak laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya. Kenyataannya juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah mudah. Stereotip perempuan yang pasif, emosional, dan tidak mandiri telah menjadi citra baku yang sulit diubah. Karenanya, jika seorang perempuan mengekspresikan keinginan atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak rasional dan agresif. Hal ini menjadi beban tersendiri pula bagi perempuan.
Keadaan di atas menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja.
Dari
penjelasan tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa gender merupakan
pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan sebagai
hasil konstruksi social budaya masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan,
dan kepercayaan masyarakat. Gender bukan kodrat atau takdir Tuhan, tetapi
gender berkaitan dengan keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan bagaimana
seharusnya perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang
terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada.
BAGIAN II
PEMBAHASAN
KESETARAN
GENDER DALAM PENDIDIKAN
Isu kesetaraan gender sejalan dengan perkembangan jaman yang didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong perkembangan ekonomi dan globalisasi informasi, yang memungkinkan kaum perempuan bekerja dan berperan sama dengan kaum lelaki. Hal yang sangat penting adalah bahwa kesetaraan gender itu harus didukung dengan perlindungan hukum dan berbekal pendidikan yang memadai, karena perjuangan kesetaraan gender yang hakiki adalah perjuangan kesetaraan gender dalam dunia pendidikan dan perlindungan hukum.
Pendidikan
adalah produk atau konstruksi sosial, dan celakanya ada jenis kelamin dalam
masyarakat yakni laki-laki dan perempuan yang salah satunya tidak selalu
diuntungkan akibat dari konstruksi tersebut. Kesenjangan pada sektor pendidikan
telah menjadi faktor utama yang paling berpengaruh terhadap bias gender secara
menyeluruh. Hampir pada semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan,
peran di masyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat, antara laki-laki
dan perempuan yang menjadi faktor penyebab terjadinya bias gender adalah karena
latar belakang pendidikan yang belum setara.
Kita
tidak perlu jauh-jauh untuk menganalisa bagaimana bias gender terjadi, di
lingkungan keluarga maupun sekolah kita sudah bisa menilik bagaimana keadaan
bias gender terjadi dan ini akan terus-menerus berlangsung manakala tidak ada
penyelesaian. Misalnya, dalam buku ajar siswa, banyak ditemukan gambar maupun
rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar
seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan
kecakapan dan kekuatan yang “hanya” dimiliki oleh laki-laki. Sementara gambar guru
yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan
dengan tugas mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski
guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya
umumnya laki-laki. Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim bagi
perempuan serta sifat maskulin dan bagi laki-laki.
Bias
gender tampak sekali dalam realita kehidupan diatas dan ini tidak hanya
berdampak negatif bagi siswa atau anak perempuan tetapi juga bagi anak
laki-laki. Anak perempuan diarahkan untuk selalu tampil cantik, lembut, dan
melayani. Sementara laki-laki diarahkan untuk tampil gagah, kuat, dan berani.
Ini akan sangat berpengaruh pada peran sosial mereka dimasa datang. Singkatnya,
ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan
laki-laki. Jika perempuan tidak dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu
adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya ia akan
disebut banci, penakut atau bukan lelaki sejati.
Padahal menurut William Pollacek dalam Real Boys menunjukkan penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya .
Padahal menurut William Pollacek dalam Real Boys menunjukkan penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya .
Penyebabnya
adalah pertama, ada proses menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari
untuk tidak menangis, tidak lemah, dan tidak takut. Kedua, proses pemisahan
dari ibunya, yakni proses untuk tidak menyerupai ibunya yang dianggap
masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus dilindungi. Meski berat bagi anak
laki-laki untuk berpisah dari sang ibu, namun ia harus melakukannya jika tidak
ingin dijuluki sebagai “anak mami”.
Dengan
adanya pelabelan-pelabelan seperti di atas, perempuan dianggap mempunyai
tingkat kemampuan untuk meraih pendidikan lebih rendah dibandingkan dengan
laki-laki yang menyebabkan perempuan belum bisa berperan lebih besar. Untuk
itu, perlu dibuka seluas-seluasnya akses pendidikan dengan memajukan
program-progrm sosialisasi kesetaraan gender agar bias gender tidak terus
berlangsung.
Sehingga
kejadian-kejadian buruk seringkali menimpa kaum perempuan dikarenakan kurangnya
pengetahuan atau pendidikan. Sehingga muncul teori-teori feminisme dalam wacana
pendidikan yang juga dapat diperhitungkan sebagai bagian yang memperjuangkan
kesetaraan gender dalam dunia pendidikan, ada empat teori besar feminisme yang
secara singkat perlu dikemukakan di sini yang dikaitkan dengan masalah
pendidikan, antara lain :
- Teori
Feminisme Liberal.
Teori ini memfokuskan diri pada pertanyaan-pertanyaan mengapa anak perempuan banyak mengalami kegagalan meraih pendidikan tinggi. Feminisme liberal lebih berfokus pada persoalan akses ke pendidikan, peningkatan partisipasi sekolah pada anak perempuan, menyediakan program-program pelayanan bagi anak perempuan dari keluarga yang kurang beruntung dan melakukan penuntutan kesetaraan pendidikan yang sifatnya tidak radikal atau tidak mengancam
- Teori
Feminisme Radikal
Teori radikal mencari persoalan sampai keakar-akarnya bertolak belakang persepsi mereka dengan kaum feminis liberal. Kaum feminis radikal melihat penyebab utama adanya ketidakadilan bagi perempuan di dalam dunia pendidikan adalah karena sistem patriarkhal yang berlaku di masyarakat setempat. Selain itu, juga melihat hubungan-hubunga kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, karena nya ini yang kemudian menentukan keterbelakangan perempuan perempuan di berbagai bidang.
- Teori
Feminisme Marxis dan Sosialis
Bagi teori ini, ketidaksetaraan dalam pendidikan terjadi karena institusi-institusi pendidikan justru menciptakan kelas-kelas ekonomi. Pendidikan telah dijadikan bisnis yang lebih melayani kelas ekonomi atas. Pendidikan telah kehilangan makna bukan untuk mencerdaskan bangsa melainkan untuk menguntungkan pendapatan pribadi. Hubungan kekuasaan antara ekonomi kuat dan ekonomi lemah terlihat gamblang sehingga kelompok miskin tereksploitasi dan berada dalam kebodohan terus menerus. Bahasa-bahasa yang sering digunakan dalam teori ini adalah yang berkaitan dengan kelas, produksi, kemiskinan dan seterusnya.
- Teori Poststrukturalis dan
Postmodernisme
Teori ini mengkritik definisi pendidikan yang lebih berpusat pada laki-laki (male-centered) tidak dipertanyakan lagi atau sudah dianggap wajar dan semestinya. Teori ini juga membongkar semua anggapan-anggapan yang diterima begitu saja. Konsentrasi yang dilakukan teori ini adalah melihat semua diskursus-diskursus yang ada (teks-teks) yang ada dalam dunia pendidikan yang melakukan operasi bawah sadar sehingga terjadi penaturalan bahasa-bahasa yang bias gender. Oleh sebab itu, teori ini bukan saja mengajak mereka yang berkepentingan dengan pendidikan untuk merubah kurikulum tetapi melihat bagaimana kurikulum bias genderter bentuk dan beroperasisecar luas. Perjuangan untuk menyuarakan kesetraan gender itu tidak akan betul-betul bisa terwujud apabila kesetaraan gender dalam pendidikan belum bisa direalisasikan. Artinya perjuangan kesetaraan gender harus dimulai dengan kesetaraan antara kaum perempuan dan kaum lelaki, dalam pendidikan sehingga mempunyai peluang yang sama untuk mengakses lapangan pekerjaan dan berperan dalam berbagai kehidupan.
Ketidakadilan
Gender Terjadi dalam Pendidikan
Bias
gender sebagai masalah sosial bukan hanya terjadi di wilayah politik, budaya,
dunia dan agama saja, melainkan juga di dunia pendidikan. Sebagai contoh
kebijakan bias gender terjadi di tingkat SMA. Di mana, terdapat kebijakan anak
perempuan yang hamil (akibat kecelakaan/ di luar nikah) dikeluarkan dari
sekolah, sedangkan laki-laki yang menghamilinya tak kena sanksi apapun.
Selain
itu, anak perempuan yang sudah menikah tidak dibenarkan mengikuti atau
melanjutkan pendidikan di SMP atau SMA. Hal itu merupakan bentuk ketimpangan
gender dalam dunia pendidikan. Pernyataan itu disampaikan Dosen STAIN Salatiga
Dra Siti Zumrotun MAg dalam Seminar Pendidikan Berbasis Adil Gender di Gedung Korpri Salatiga, Selasa (31/5).
Dra Siti Zumrotun MAg dalam Seminar Pendidikan Berbasis Adil Gender di Gedung Korpri Salatiga, Selasa (31/5).
"Ada
jenis kelamin dalam masyarakat yakni laki-laki dan perempuan yang salah satunya
tidak selalu diuntungkan akibat persoalan itu. Karenanya, pendidikan
berperspektif gender perlu ditumbuhkan dimasyarakat khususnya oleh pendidik,
orang tua maupun pembuat kebijakan," katanya.
Menurut
dia, pendidikan berkonsep keadilan gender, kemitrasejajaran yang harmonis
antara perempuan dan laki-laki perlu ditumbuhkan untuk menyikapi persoalan itu.
Masyarakat yang masih berpikir konvensional pun perlu diberikan wawasan lebih
luas menyangkut kepentingan strategis perempuan dan laki-laki.
Guna
meminimalisasi atau menghilangkan bias gender, pihaknya mengatakan, diperlukan
upaya serius dari berbagai pihak. Mulai dari lingkungan keluarga seperti ayah
maupun ibu harus mulai menanamkan kesetaraan dan keadilangender dengan cara
saling menghormati. Seminar itu diikuti 198 peserta yang terdiri atas guru-guru
di bawah naungan Kemenag Salatiga serta personel Pusat Studi Wanita (PSW)
se-Jaw Tengah.
Selain
Siti Zumrotun, narasumber lainnya yaitu Prof Dr Ismi Dwi Astuti Nurhaeni MSi
dari PSW UNS Surakarta. Menurut Ismi, peran serta komite sekolah dibutuhkan
dalam mewujudkan pendidikan peka gender. Adapun, indikatornya komite sekolah
memberikan peluang yang sama kepada perempuan dan laki-laki dalam kepengurusan
secara proporsional.
Pengambilan
keputusan pun dilakukan secara demokratis tanpa diskriminasi gender. Dengan
demikian, informasi dan hak-hak bisa diperoleh secara seimbang dari hasil
kegiatan di sekolah.
PANDANGAN
ISLAM TERHADAP KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN
Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Yang membedakan adalah ketakwaannya dihadapan Allah SWT. Islam juga mewajibkan untuk menuntut ilmu pengetahuan, sebagaimana hadist nabi yang artinya;
“Menuntut
ilmu wajib bagi setiap muslim dan (muslimah)”
Hal
ini terbukti bahwa islam tidak membedakan dalam hal memperoleh ilmu
pengetahuan, yaitu ketika zaman Rasulullah banyak wanita yang menonjol
pengetahuannya yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh yaitu Aisyah istri Nabi
saw.
Namun, memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada perbedaan kodrat antara laki-laki dan perempuan, yaitu :
Namun, memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada perbedaan kodrat antara laki-laki dan perempuan, yaitu :
- Perbedaan
jasmaniah (biologis)
- Perbedaan
kejiwaan (psikologis)
- Perbedaan
menjalankan agama
BAGIAN
PENUTUP
III
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan adalah produk atau konstruksi sosial, dan celakanya ada jenis kelamin dalam masyarakat yakni laki-laki dan perempuan yang salah satunya tidak selalu diuntungkan akibat dari konstruksi tersebut. Kesenjangan pada sektor pendidikan telah menjadi faktor utama yang paling berpengaruh terhadap bias gender secara menyeluruh. Hampir pada semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat, antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor penyebab terjadinya bias gender adalah karena latar belakang pendidikan yang belum setara.
Isu
kesetaraan dan keadilan gender dalam dunia pendidikan memang sudah begitu lama
didengung-dengungkan, akan tetapi bukti konkrit pencapaian masih tumpang
tindih, bias gender masih terjadi dimana-mana. Dikarenakan kurang pahamnya
tentang pengertian gender ataupun peran yang diberikan masyarakat dan adat
serta budaya terhadap laki-laki maupun perempuan.
Sehingga perlu dijelaskan secara tepat mengenai pengertian gender yang tidak lain adalah pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi social budaya masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.
Hal ini sangat merugikan bagi baik kaum laki-laki maupun perempuan, sehingga munculah upaya untuk meminimalisir bias gender yang kemudian akhirnya muncul berbagai macam teori-teori feminisme, antara lain:
Sehingga perlu dijelaskan secara tepat mengenai pengertian gender yang tidak lain adalah pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi social budaya masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.
Hal ini sangat merugikan bagi baik kaum laki-laki maupun perempuan, sehingga munculah upaya untuk meminimalisir bias gender yang kemudian akhirnya muncul berbagai macam teori-teori feminisme, antara lain:
- Teori
Feminsme Liberal.
- Teori
Feminsme Radikal
- Teori
Feminsme Marxis dan Sosialis
- Teori
Poststrukturalis dan Postmodernisme
Juga
ada strategi untuk menanggulanginya yang kemudian dikenal dengan Gender
Mainstreaming.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.pdfqueen.com/contoh-proposal-pendidikan-kesetaraan
No comments:
Post a Comment